
Bahasa slank Jogja alias bahasa walikan, mula-mula diciptakan dan dipakai oleh kalangan gali (ada yang bilang singkatan ‘gabungan anak liar’). Maka tak heran jika istilah-istilah yang diungkapkan tidak jauh dari hal-hal yang berbau kriminal dan kesenangan badani semata.
Bahasa ini tercipta dengan memakai sebuah rumusan dari deretan aksara Jawa (hanacaraka) yang ditukar tempat. Para gali ini rupanya cukup cerdas dan sangat dekat dengan budaya Jawa. Memakai aksara Jawa sebagai rumusan tadi buktinya. Secara sederhana huruf Jawa yang terdiri dari empat baris dengan lima suku kata perbarisnya dipertukarkan tempatnya dengan vokal yang tidak dirubah. Sehingga muncullah sebuah kata baru yang tanpa arti sama sekali jika tidak tahu rumusnya.
Urutan huruf jawa adalah sebagai berikut:
ha na ca ra ka
da ta sa wa la
pa dha ja ya nya
ma ga ba tha nga
Nah, rumus basa walikan adalah dengan menukar suku kata dua baris di bawah atau atasnya. Misalnya ma ditukar dengan da, kemudian ra dengan ya. Sedangkan huruf hidup tetap saja. Sebagai contoh: mari menjadi dayi. Tidak semua enak dibalik, namun jika ada yang tidak pengucapannya maka dicari mudahnya saja.
Sebagai contoh dari dunia kenikmatan badani, ada lodse atau ngombe (minum, maksudnya minum minuman keras). Karena para gali tahun 80′an ini berkantong cekak (terutama yang kroco) maka mereka cukup minum nya ge pi (ka te i/KTI alias anggur ketan ireng). Sesudah minum pastilah dasun atau mabuk. Tak lengkap rasanya tanpa nyonyon atau rokok/merokok (harusnya yonyon tapi di lidah lebih enak mengucapkan nyonyon). Urusan mothik/muthik (dhuwit/uang) masih dalam kondisi moneter saat itu. Jumlah nominalnya juga memprihatinkan untuk ukuran hari ini. Paling banyak adalah dalbethu (mangewu/lima ribu), kemudian bethu (sewu/seribu), dalbagub (mangatus/lima ratus), bagub (satus/seratus), benyek (séket/lima puluh), bengathé (selawe/dua puluh lima) dan daltengo (manggelo/lima rupiah). Ya, semuanya dalam rupiah! Jadi tidak ada nominal yang lebih besar dari itu yang diterjemahkan! Kasihan para gali itu…
Dunia keras kaum gali juga dekat dengan dunia pelacuran. Maka ada istilah-istilah untuk itu seperti: ngodwé (lonthé/pelacur), lesol (ngebong/kuburan cina: tahun 80-an ada kuburan cina daerah Bulaksumur yang dipakai mangkal pelacur-pelacur murahan langganan para gali tersebut), thémon (wedok) atau jéthén (cewek), higin (pitik/ayam: sebutan untuk cewek yang mudah ‘dibawa’). Juga aktivitas seksual: jipan (ciak/bersetubuh), ledub (ngemut/fellatio). Kalau sudah begitu, maka bagian-bagian tubuh juga akan disebut, namun hanya yang berkenaan dengan aktivitas seksual saja, macam: bubu (susu/payudara), tathun (gawuk/vagina), cedsut/ceksut (jembut/rambut kelamin), nyodwong (konthol/penis). Wah sori ya kalau terlalu eksplisit, tapi ini realita.
Lantas istilah dari aktivitas kriminal juga muncul: dangil (maling) yang tentu saja takut pada hongibi (polisi) karena takut kejenjeng (kecekel/tertangkap). Atau bahasa sehari-hari penyebutan kata benda atau kata kerja: hiré (piyé/bagaimana), dab (mas/kak/bang), poya (ora/tidak), poya hoho (ora popo/tidak apa-apa), japé méthé (cahé dhewe/anak sendiri/teman sendiri), jap jingin (cah cilik/anak kecil) untuk menyebut mereka yang masih yunior di dunia gali). Berikutnya ada thol gutha/gutho (wong tuwa/orang tua), sahan (bapak), pisu (ibu), podab (omah/rumah), dayi (mari), sangi (bali/pulang), dagi (mati), degu (metu/keluar), sedbid (bensin), dogos (motor), piyel (ireng/hitam), tené (gedhé/besar), nyawon (kathok/celana), jadheg (cawet/celana dalam), nyogal (kotang/kutang/BH). Juga pegén/pedgén (enték/habis), gunyu (tuku/beli), cingip (njilih/pinjam) ponyep (okeh/banyak), pegun (entuk/mendapat), piba/pibo (isa/iso/bisa), lesgi (ngerti/tahu), pedan (enak), péngén (élék/jelek). Anak sekolah juga ikut-ikutan: songob (bolos).
Mereka juga suka dalad (mangan/makan) belbu (sengsu/tongseng asu/tongseng anjing). Suka juga mabuk pakai dabyut (masrum) yaitu: mushroom omelette (jamur dari kotoran sapi dicampur telor) yang biasanya juga digemari kalangan pelajar, banyak terdapat di Parangtritis. Murah meriah buat fly. Bisa bikin pemakannya ketawa terpingkal-pingkal dan berhalusinasi. Jika mengumpat muncullah kata pabu (asu/anjing), sacilat (bajingan), meba/mebo (ndesa/ndeso/kampungan), dagadu (matamu). Nah yang terakhir ini jadi brand name terkenal produk khas Jogja.
Karena semula hanya dipakai di kalangan terbatas saja, maka tidak semua kata dirubah. Selain itu karena tidak semua kata jika dirubah menjadi mudah atau enak diucapkan. Tidak seperti bahasa slank-nya Malang yang betul-betul membalik kata dengan mengucapkan dari belakang.
Beberapa nama orang juga mempunyai tempat tersendiri pada bahwa walikan ini. Ada Patub (Agus), Satub (Bagus atau ganteng), Methi (Dewi), Gogon (Totok), Peyi (Heri), kalau Peyu? Bisa ditebak? Tidak semua nama bisa dibalik karena kadang jadi sulit atau tidak bisa diucapkan. Seperti Gogor jadi Totoy, kan nggak enak mengucapkannya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar